Artikel kali ini adalah sebuah motivasi untuk teman-teman yang bercita-cita menjadi seorang desainer handal, namun sedang mengalami kesulitan entah apapun itu.
Kita sebagai manusia pasti pernah mengalami kesulitan, bahkan ada yang mendapatkannya sejak lahir. Tapi janganlah memandang hal tersebut sebagai sebuah alasan untuk tidak mengejar impianmu.
Simak kisah Sabar Subadri, seorang pelukis yang tidak memiliki lengan.
Keterbatasan fisik tidaklah menjadi penghalang bagi Sabar Subadri untuk berkarya. Tanpa kedua lengan, Sabar mampu menghasilkan karya-karya lukisan yang sekarang sudah ratusan jumlahnya. Dengan menggunakan kakinya, dia mengguratkan kuas di atas kanvas.
Kemampuan Sabar melukis dengan menggunakan kaki adalah bukti bahwa di balik kekurangan seseorang, pastilah ada kelebihan yang dimilikinya. Bakat seni yang dimilikinya telah mengantarkannya menjadi seorang pelukis yang tidak kalah dengan para pelukis lain yang normal.
Sabar tidak tahu, bahkan tidak ingin tahu, apa yang menyebabkan kecacatannya. Yang diketahuinya hanyalah dia telah mengalami kecacatan sejak masih dalam kandungan. Namun, itu bukanlah penghambat kreatifitasnya. Walau tidak memiliki kedua lengan, dia telah berhasil menuangkan imajinasi dan perasaannya ke dalam lukisan.
Mungkin kita menganggap betapa sulitnya untuk bisa menjepitkan kuas di jari kaki dan membuat tarikan di atas kanvas. Namun, bagi pria kelahiran 4 Januari 1979 ini, hal tersebut tidak ada bedanya dengan kegiatannya yang lain. “Melukis dengan kaki tidak beda dari aktifitas saya yang lain, seperti makan minum dengan kaki, nyisir rambut dengan kaki, termasuk berjalan dengan kaki. Secara teknis tidak ada yang hebat,” demikian Sabar menuturkan. Sejauh ini, Sabar tidak mengalami kesulitan dalam melukis. “Kesulitan melukis lebih pada masalah mental dan emosional, yaitu menemukan ide dan mempertahankan mood,” jelasnya lagi.
Kegemaran melukis sudah dimulai sejak Sabar masih kecil. Saat itu, Sabar senang mencoret-coret di kertas. Hobi tersebut mendapat dukungan dari keluarga dan guru-guru di sekolahnya. Pada usia sepuluh tahun, Sabar mulai sungguh-sungguh melukis. Untuk meningkatkan kemampuan teknisnya dalam seni lukis, anak bungsu dari tiga bersaudara ini sempat belajar pada seorang pelukis senior di kotanya, Salatiga.
Sekarang sudah banyak lukisan yang Sabar hasilkan . Untuk menyalurkan hasil lukisannya tersebut, Sabar menjadi anggota Yayasan AMFPA (Association of Mouth and Foot Painting Artist). Yayasan tersebut khusus menampung karya lukisan penyandang cacat yang tidak memiliki kedua lengan. Karya mereka lalu dikirim ke kantor pusatnya di Swiss. AMFPA juga mereproduksi lukisan-lukisan itu menjadi kartu lebaran, kartu natal dan kalender. Dari situlah para pelukis mendapatkan Honor.
Sabar mengakui, hasil yang ia dapatkan dari melukis sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan penghasilannya itu, Sabar juga dapat membiayai kuliahnya di Jurusan Sastra Inggris Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Satya Wacana di Salatiga.
Sebagai seorang pemuda yang masih mempunyai banyak cita-cita, Sabar tidak mau cepat berpuas diri. Selain ingin tetap menggeluti bidang melukis, pria yang menjadikan Tuhan sebagai motivator utama dalam hidupnya ini, ingin pula berkarir sebagai penulis dan entrepreneur. “Tentang kecacatannya, Sabar mengaku tidak pernah berkecil hati dengan keadaannya itu. “Saya tidak pernah merasa rendah diri, karena dari kecil saya sudah biasa bersosialisasi dengan orang-orang normal,” ujarnya.
“Tuhan adalah Yang Sebaik-baiknya Pemilih dan Penentu. Jadi apa yang sudah dipilihkan oleh Tuhan untuk kita, itulah yang terbaik. Tetapi selagi kita masih diberi kesempatan memilih, maka saya akan memilih yang lebih baik lagi. Artinya, di sini selalu ada ruang bagi manusia untuk berusaha,” tuturnya lagi.
Sumber: Mitra Netra, April 2006